Monday, December 26, 2005

*My short story*

Buat Jar

Fiuh, benar-benar hari yang tidak menyenangkan! Untung semuanya telah berakhir, pikirku sambil mengipas-ngipas di sore yang tidak berangin ini. Hanya satu mata kuliah yang dapat kucerna dengan baik karena malam sebelumnya aku telah mempelajarinya terlebih dahulu. Sementara beberapa mata kuliah lainnya kuikuti dengan tidak siap. Entah karena memang sungguh-sungguh tidak cukup waktu untuk membaca semua bahan yang ada atau memang karena diriku saja yang malas menyiapkan segala sesuatunya dari jauh hari. Tak sabar rasanya untuk menumpahkan kemalangan yang membuat kepalaku pusing ini kepadamu.

Kulangkahkan kakiku terus bersama teman-temanku menyusuri peron stasiun UI, yang masih diwarnai terang sinar matahari sore seakan enggan meredupkan cahayanya, dengan mata yang tak lengah mencari celah-celah bangku kosong yang bisa kami duduki di antara para calon penumpang yang menumpuk ini. Aura yang dikeluarkan stasiun pagi tadi berbeda dengan yang kurasakan di sore ini. Pagi tadi peron stasiun dipenuhi mahasiswa yang baru datang dengan penuh semangat dan harapan untuk melaksanakan aktivitas di pagi hari. Bahkan beberapa ada yang tampak bergegas karena terlambat atau karena ingin segera melesat ke rental komputer untuk menyelesaikan tugas yang belum selesai. Sapaan ramah dan celoteh riang terdengar di mana-mana.

Sedangkan atmosfir yang terpancar saat ini terasa redup, tidak sehidup tadi pagi, seakan-akan bukan saja orang-orang yang ada di stasiun ini tapi juga benda-benda yang berada di sekitar stasiun sedang menghela nafas lega setelah seharian beraktivitas. Raut para mahasiswa yang bergerombol menanti kereta tampak lelah, pakaian tidak serapi pagi tadi, tidak tercium lagi wangi parfum yang menggelitik hidung, serta muka mereka berminyak.

Sepertinya selang waktu kedatangan kereta yang terakhir telah cukup lama membuat para calon penumpang, sebagian besar mahasiswa UI, padat menunggu di peron yang hampir tidak pernah sepi ini. Ternyata keberuntungan bersama kami, tak berhasil mendapatkan tempat duduk, kereta jurusan Jakarta-Kota pun segera datang.

“Eh, pada mau naik yah?” tanyaku.

“Ya iyalah! Udah sore tau,” jawab Adah.

“O, ya udah deh. Da-dah,” ujarku.

Lho, elo ga pulang terus mau ngapain?!” tanya Adah di saat-saat terakhir karena kereta telah tiba.

“Nungguin Ganjar. Hari ini mau pulang bareng. Katanya abis dari kantor mau ke sini,” jawabku lagi.

“Oke deh, gue duluan ya Tes!” Sambil melambaikan tangan, Adah menghilang ditelan kerumunan penumpang lain yang mendesak berebut masuk. Sedangkan teman-temanku yang lain sudah entah ke mana rimbanya.

Kemudian, aku dapat duduk dengan leluasa di peron, yang tiang-tiangnya bercatkan warna hijau tua yang mulai pudar, bersama penumpang lain yang tidak muat masuk atau kalah berdesakan dengan yang lain. Sedapat mungkin kuusahakan membuat diriku nyaman sambil menunggumu di kursi keras panjang dari besi yang sudah berkarat ini. Terlebih lagi pandanganku agak terganggu oleh sinar matahari menyilaukan yang berada tepat di sebelah depan bagian atasku. Waktu di jamku menunjukkan jam setengah lima sore tapi ternyata matahari masih menyisakan tenaganya setelah belum cukup sejak siang tadi dengan kekuatan penuh memanasiku sampai nyaris matang.

Hari ini kamu janji akan datang jam lima. Seperti biasa, kamu pasti akan datang terlambat. Seperti biasanya pula, aku datang sebelum waktu yang kita janjikan. Pada mulanya kelakuanmu memang menjengkelkan, tetapi lama-kelamaan hatiku memahaminya sebagai bagian dari dirimu yang tak sedikit pun ingin aku ubah.

Sungguh ajaib memang, betapa membayangkan untuk mengakhiri hari ini bersamamu sama menghiburnya seperti memakan tiramisu kesukaanku. Akan tetapi, seringkali saat-saat bersamamu sama halnya seperti mendengarkan lagu cinta di radio. Terasa bahagia ketika lagu yang diputar bercerita tentang indahnya jatuh cinta. Akan terasa sendu ketika tentang percintaan yang kandas. Walaupun keduanya menunjukkan perbedaan, tetapi kedua pertentangan yang disebabkan oleh cinta ini ‘hidup berdampingan’, baik aku suka atau tidak.

Waduh, cinta? Apa sih sebenarnya cinta itu? Berbagai pengertian akan cinta dijabarkan oleh tiap-tiap lagu dengan cara yang berbeda, tidak ada satu pengertian cinta yang solid. Satu hal yang pasti, aku tidak bisa seenaknya saja menentukan lagu mana yang diputar, mana yang tidak, tentu saja karena aku mendengarkan mereka di radio. Semua tergantung dj-nya.

Jarang sekali aku berkesempatan untuk pulang sore dan menghabiskan banyak waktu di peron stasiun ini. Kebanyakan bila pulang kuliah di sore hari, aku dan teman-teman bergegas naik kereta yang pertama tiba, tak sabar ingin segera pulang. Hari ini aku dapat lebih meresapi pemandangan yang ada. Dari tempatku duduk yang kira-kira berada di tengah peron, terlihat beberapa penumpang yang duduk di kursi seberang menunggu kereta tujuan Bogor. Sama halnya dengan sisi yang aku duduki ini, di kanan kiri kursi besi yang mereka duduki terdapat kios kecil yang menjual rokok, minuman, dan makanan ringan. Tidak seperti di pagi hari yang biasanya penumpang tujuan Bogor itu sepi, ternyata di sore hari banyak juga yang ingin menuju ke sana.

Dari sekian banyak penumpang di seberang, selain dua orang bapak-bapak sederhana paruh baya menjinjing alat memancing yang melintas dengan santai, hanya tiga orang yang benar-benar menarik perhatianku. Sinar matahari yang sedari tadi bersinar terik sekarang mulai tidak terlalu menyorot lagi, sehingga aku tidak perlu memicingkan mata untuk memperhatikan mereka. Sosok pertama yang menarik perhatianku adalah seorang pemuda agak montok dengan tinggi rata-rata seorang pria berusia sekitar 25 tahunan.

Ia memakai kemeja lengan pendek berwarna biru tua kotak-kotak dengan celana kain hitam. Menurut perkiraanku ia baru saja pulang kerja, tapi kok ia tidak membawa tas kerja yah? Wah, pikiranku terpengaruh karena melihat kamu yang setiap kerja membawa tas punggung hitam besar berisikan disket, cd, dan berkas-berkas kerja. Hal yang lebih menarik perhatianku adalah cara pemuda itu duduk dengan amat santai. Sepatu sandal hitam yang dikenakannya telah dilepas dan sekarang ia menaikkan kakinya dengan gaya seperti nongkrong di warung kopi. Kontras sekali dengan penampilannya yang rapi. Terlihat juga ia memandang ke arahku, memperhatikan mahasiswi-mahasiswi cantik yang baru saja lewat di depanku. Dasar!

Dua sosok lainnya yang juga menarik perhatianku adalah sepasang kekasih yang sedang asyik mengobrol. Wajah mereka agak mirip dan mereka terlihat cukup serasi. Sang pria berpenampilan lebih sederhana dari kekasihnya. Ia mengenakan kemeja lengan panjang biru muda yang tidak dimasukkan dengan celana kain hitam. Sedangkan, kekasihnya memakai rok serta jaket jeans berwarna biru tua dengan scarf coklat muda yang dililitkan di lehernya. Hm, cukup modis dan aku mengagumi perempuan-perempuan yang mampu tetap menggunakan jaket jeans-nya di hari yang cukup terik ini. Mungkin ia sedang sakit? Atau demi gaya saja? Entahlah, tapi aku pribadi tidak akan mengenakan jaket jeans beserta scarf di hari sepanas ini. Sayang tidak terlihat dari tempatku duduk pakaian dibalik jaketnya.

Haha, lucu sekali, ujarku dalam hati sambil tersenyum simpul. Sang pria tampak memaksa untuk membawakan tas kekasihnya karena kereta arah Bogor segera datang, tetapi sang kekasih menolaknya dan mereka sejenak terlihat sibuk memperebutkan tas berwarna coklat muda tersebut. Kereta arah Bogor pun tiba dan menghalangi pandanganku. Kemudian, mereka pun pergi. Sedangkan kamu, tetap belum juga datang.

Sibuk memperhatikan mereka, tanpa terasa aku telah menantimu selama 30 menit. Wah, sebentar lagi kamu akan datang. Senang rasanya karena kamu bagaikan matahari di tiap mendungku. Bayangkan saja, bahkan ketika aku ngambek, kamu dengan ocehanmu yang ceria tetap berhasil membuat joke-joke yang mau tidak mau membuatku tertawa.

Sungguh dalam waktu setengah jam saja suasana telah berubah. Sinar matahari telah benar-benar meredup bahkan nyaris pudar. Kutengok langit di atas stasiun, terlihat langit sedikit mendung. Mudah-mudahan hujan tidak turun sampai kita tiba di rumahku. Mendung membuat udara di peron yang mulai dipadati lagi dengan penumpang terasa sedikit pengap.

Tiba-tiba aku tersadar, setahuku kamu datang dari stasiun Kalibata, lalu mengapa justru aku menunggumu di peron yang ke arah Jakarta-Kota? Dasar dodol! Dengan sigap aku berdiri dan berjalan untuk pindah ke peron seberang. Setibanya di seberang, terlihat dari ujung peron kereta datang. Semoga saja kereta yang membawamu, Jar. Dengan manis aku duduk dan berusaha merapikan rambut serta bajuku sedapat mungkin.

Kereta pun tiba. Di antara kerumunan penumpang yang baru turun kucoba mencari sosok coklat gelapmu yang kurindukan, tidak terlalu tinggi untuk ukuran seorang pria serta langsing. Ah! Itu dia! Hai Jar! Wajahmu tampak lelah, tetapi tanganmu segera dengan hangat menggandeng. Cinta? Apa sih cinta itu, Jar?

1 comment:

kriz said...

Ckckck gile keren aje cerpennya! Lagi dunks! =P